Bercermin pada rekomendasi status guru yang telah dikeluarkan 43 tahun yang lalu, nampaknya kondisi kerja yang dapat mendorong kualitas guru untuk menciptakan pendidikan yang bermutu di Indonesia, khususnya guru swasta dan honorer atau Non-PNS (guru kontrak, guru bantu, guru sukarelawan) masih jauh dari harapan. Mereka masih mengalami diskriminasi.
Padahal diskriminasi dalam pekerjaan secara konstitusional jelas-jelas tidak dibenarkan. Tetapi diskrimansi terhadap guru swasta terjadi di beberapa Kota/kabupaten.
Guru swasta tidak mendapat tunjangan daerah karena tersandung Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, serta Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang intinya melarang seluruh kabupaten/kota di Indonesia memberikan tunjangan kepada pegawai non-PNS.
Profesi guru kerap kali mendapat pandangan negatif dan banyak orang yang hanya melihat sebelah mata mengenai profesi tersebut. Misalnya saja “Kalau ingin kaya jangan menjadi guru” atau “Jangan jadi guru, hidupmu bakal susah” mungkin juga anda yang sedang berprofesi sebagai guru pun berpikir seperti “Saya menjadi guru karena terpaksa, karena tidak mendapatkan pekerjaan lain”. Padahal kita seharusnya bisa melihat dengan cara dan sudut pandang yang berbeda.
Sejalan dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi les atau privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.
Untuk memahami, menghargai dan memaknai suatu hal terutama mengenai profesi atau pekerjaan tidak cukup jika hanya dengan motivasi imbalan uang yang diterima atau bermodalkan pengetahuan dan dalam hal ini keterampilan mengajar, melainkan lebih penting dari kedua hal tersebut yaitu adalah keyakinan positif tentang profesi itu sendiri.
Secara umum kondisi pendidikan di Indonesia dan secara khusus kualitas guru-guru di Indonesia adalah sebuah komulasi dari hasil pikiran masyarakat Indonesia tentang pendidikan dan kualitas guru itu sendiri. Bahkan bisa saja guru-guru sendiri memiliki kontribusi terbesar dalam mewujudkan kondisi seperti ini yakni dengan pikiran-pikiran negatip mereka.
Sebagian besar masyarakat berpikir, berpendapat dan meyakini bahwa pendidikan di Indonesia sedang dalam kondisi terpuruk. Keyakinan tersebut memangapa adanya dan bisa kita lihat sendiri melalui maraknya opini, pendapat, tulisan-tulisan juga media yang biasanya mendeskripsikan pendidikan di Indonesia dan secara khusus kondisi guru yang negatif. Berdasarkan indikator tersebut, maka dengan mudah dapat diprediksikan bahwa banyak masyarakat termasuk para guru sudah, sedang dan akan terus berpersepsi, berpikiran negatif tentang pendidikan dan kualitas guru di indonesia.